Gambar Jurus Dasar PSHT 1-36
Table of Contents
Jurus Dasar PSHT 1-36
Filosofi dan Tujuan Luhur PSHT
Di bawah temaram cahaya bulan atau sorot lampu sederhana di lapangan latihan, sesosok tubuh bergerak dalam ritme yang hening namun penuh kekuatan. Setiap kuda-kuda yang kokoh, setiap tangkisan yang sigap, dan setiap serangan yang terukur bukanlah sekadar olah kanuragan. Gerakan-gerakan itu adalah doa yang bergerak, sebuah pernyataan filosofis yang hidup, dan artefak sejarah yang diwariskan dari generasi ke generasi. Inilah esensi dari Jurus Dasar Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT), sebuah rangkaian gerak yang melampaui fungsi bela diri. Kajian ini mengupas secara mendalam bahwa Jurus Dasar PSHT 1-36 sejatinya merupakan sebuah sistem pendidikan yang menyeluruh, dirancang bukan hanya untuk mengajarkan cara membela diri, melainkan untuk menempa seorang Manusia Berbudi Luhur, yaitu insan yang memiliki karakter mulia, tahu benar dan salah, serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Arti Persaudaraan, Setia Hati, dan Terate
Untuk memahami kedalaman jurus-jurusnya, kita harus memahami tiga pilar filosofis dalam namanya. Persaudaraan adalah tujuan akhir, sebuah ikatan batin suci yang melampaui segala perbedaan suku, agama, dan status sosial. Setia Hati adalah kompas internal, yaitu kesetiaan pada hati nurani sebagai wujud ketaatan pada Tuhan, yang melahirkan falsafah bahwa manusia tak terkalahkan selama ia setia pada hatinya sendiri. Terakhir, Terate (bunga teratai) menjadi simbol kemampuan anggota untuk tetap bersih dan membawa kebaikan di lingkungan mana pun, layaknya bunga teratai yang mekar indah di air jernih maupun keruh.
Panca Dasar sebagai Kerangka Kerja
Tujuan luhur ini diwujudkan melalui kerangka Panca Dasar, yaitu lima pilar yang saling terkait:
- Persaudaraan
- Olahraga
- Bela Diri
- Kesenian
- Kerohanian (Ke-SH-an)
Kelima pilar ini bekerja sinergis, di mana aspek fisik (Olahraga, Bela Diri, Kesenian) ditempa sebagai metode, namun dipandu oleh landasan moral (Kerohanian) untuk memastikan kekuatan tidak disalahgunakan. Proses inilah yang pada akhirnya bertujuan untuk mencapai puncak tertinggi, yaitu ikatan Persaudaraan yang tulus dan abadi.
Lintas Sejarah Dari Perjuangan Hingga Organisasi Global
PSHT lahir dari semangat perjuangan kemerdekaan. Didirikan pada tahun 1922 di Madiun oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo, seorang pahlawan perintis kemerdekaan, organisasi ini awalnya bernama "SH Pencak Sport Club" (SH PSC). Tujuannya bukan sekadar melestarikan budaya, melainkan sebagai wadah strategis untuk menempa kader-kader pejuang yang siap melawan penjajah Belanda. Perjalanan awalnya penuh tekanan, yang memaksa perubahan nama sebagai siasat untuk menghindari pembubaran oleh pemerintah kolonial, seperti menjadi "SH Pemuda Sport Club". Setelah kemerdekaan Indonesia, melalui konferensi pertama pada tahun 1948, statusnya diubah dari "perguruan" menjadi "organisasi" dengan nama resmi Persaudaraan Setia Hati Terate, menandai fokus baru untuk membangun karakter bangsa. Sejak saat itu, PSHT terus berkembang menjadi salah satu organisasi pencak silat terbesar di dunia, yang turut serta mendirikan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI).
Jurus Dasar PSHT 1-35 sebagai Perjalanan Fisik dan Batin
Jurus Dasar PSHT 1-35 diajarkan melalui sebuah kurikulum yang terstruktur dan bertahap. Setiap tahapan, yang ditandai dengan warna sabuk (sabuk) yang berbeda, tidak hanya mencakup penguasaan teknik fisik tetapi juga penanaman nilai-nilai karakter dan prinsip kepemimpinan (asas kepemimpinan). Progresi ini sengaja dirancang agar kematangan fisik seorang siswa berjalan selaras dengan kematangan mental dan spiritualnya, memastikan bahwa kekuatan yang diperoleh akan digunakan dengan bijaksana.
Materi Jurus Dasar PSHT
Tabel berikut menyajikan pemetaan kurikulum yang menunjukkan pengembangan paralel antara keterampilan fisik (jurus) dan pembentukan karakter (asas kepemimpinan) di setiap tingkatan siswa.
Tingkatan | Sabuk | Durasi Latihan (Min.) | Cakupan Jurus | Asas Kepemimpinan yang Ditanamkan | Makna Filosofis Sabuk |
---|---|---|---|---|---|
Siswa Polos | Hitam | 4 bulan (30x pertemuan) | Jurus 1A - 6 | Ing Ngarso Sung Tulodo (Di depan memberi teladan) | Ketidaktahuan, awal dari perjalanan |
Siswa Jambon | Merah Muda | 6 bulan (40x pertemuan) | Jurus 1A - 15 | Ing Madyo Mangun Karso (Di tengah membangun semangat) | Keraguan, transisi |
Siswa Hijau | Hijau | 6 bulan (44x pertemuan) | Jurus 1A - 25B | Waspodo Purbo Waseso (Waspada terhadap kuasa) | Keseimbangan, keteguhan hati |
Siswa Putih | Putih | 8 bulan (55x pertemuan) | Jurus 1A - 35 | Gemi Nastiti, Bloko, Legowo (Hemat, Jujur, Ikhlas) | Kesucian, kesiapan spiritual |
Warga Tingkat I | Mori Putih | - | Jurus ke-36 (Kunci Sakral) | Mengamalkan Ajaran Luhur | Kesucian & Ikrar Persaudaraan |
Sebagai catatan, panduan visual lengkap untuk Jurus Dasar PSHT 1-35 dalam format PDF dilampirkan di bagian akhir tulisan ini.
Analisis Jurus Dasar per Tingkatan
Jurus 1-6 untuk Tingkat Polos (Sabuk Hitam): Fondasi Gerak, Karakter, dan Kegigihan
Sabuk hitam polos melambangkan kegelapan atau "kebutaan," yang merepresentasikan kondisi siswa yang masih kosong dan siap menerima ilmu dari awal. Pada tingkat ini, ditanamkan fondasi karakter yang berani (keberanian) dan ulet (kegigihan), sejalan dengan asas kepemimpinan Ing Ngarso Sung Tulodo. Asas ini mengajarkan bahwa langkah pertama untuk memimpin orang lain adalah dengan mampu menjadi teladan bagi diri sendiri.
Jurus 1 hingga 6 diajarkan sebagai alfabet dari bahasa gerak PSHT. Gerakannya, khususnya pada Jurus 1-4, dideskripsikan sebagai "masih berbenturan" dan "kasar" yang menyiratkan sifat lugas, langsung, dan konfrontatif. Secara teknis, latihan berfokus pada pembentukan fondasi krusial yang akan menopang semua gerakan kompleks di masa depan, meliputi:
- Kuda-kuda yang benar
- Pukulan lurus
- Tendangan depan (Tendangan A)
- Tangkisan dasar
- Penyelarasan postur tubuh
Gerakan-gerakan ini cenderung mengikuti pola langkah lurus, yang secara simbolis mengandung makna bahwa setiap tindakan seorang insan SH harus dilandasi oleh hati yang lurus dan jujur. Pada intinya, rangkaian jurus dasar ini dirancang untuk mengatasi keraguan dan rasa takut alami seorang pemula dengan mengajarkan mereka untuk menghadapi tekanan atau serangan melalui tindakan yang terstruktur, kuat, dan penuh keyakinan.


Jurus 7 A-15 untuk Tingkat Jambon (Sabuk Merah Muda): Mengatasi Keraguan Melalui Kecerdikan
Warna merah muda atau jambon melambangkan fajar yang mulai merekah, namun secara filosofis juga merepresentasikan masa transisi dan keraguan. Siswa pada tahap ini telah menguasai dasar, tetapi belum memiliki keyakinan diri penuh. Untuk itu, ditanamkan asas Ing Madyo Mangun Karso, yang mendorong mereka membangun semangat dari tengah-tengah kelompok persaudaraan.
Fase ini menandai pergeseran fokus krusial, yaitu dari konfrontasi langsung yang mengandalkan kekuatan fisik mentah menuju pemikiran strategis atau kecerdikan. Tujuannya adalah membangun keyakinan diri siswa dengan menunjukkan cara mengendalikan pertarungan secara lebih cerdas. Secara teknis, fokus bergeser dari posisi statis ke aplikasi yang lebih dinamis melalui:
- Kombinasi gerakan yang lebih rumit dan mengalir.
- Pengenalan penggunaan sudut dan langkah menghindar.
- Penerapan gerakan melingkar dan langkah menyerong yang tidak selalu berhadapan langsung dengan lawan.
Evolusi strategis ini dicontohkan secara jelas dalam beberapa jurus kunci:
- Jurus 12 (Salam Penghormatan): Bukan sekadar formalitas, jurus ini adalah teknik fungsional yang "berisikan isyarat memberi salam" namun dapat diaplikasikan sebagai tangkisan atau pembuka serangan. Ini adalah perpaduan sempurna antara pilar Persaudaraan dan Beladiri.
- Jurus 13 ("Harimau Menanti"): Nama jurus ini menyiratkan pergeseran dari agresi ke kekuatan yang sabar dan siaga. Praktisi belajar untuk menunggu momen yang tepat untuk menyerang, sebuah elemen kunci dari kecerdikan.
Jurus 16 A1-25 B untuk Tingkat Hijau (Sabuk Hijau): Keseimbangan, Presisi, dan Adaptabilitas
Warna hijau melambangkan pertumbuhan dan keseimbangan, seperti tanaman yang akarnya telah menancap kuat, menandakan pengetahuan siswa yang kini telah kokoh. Tingkat ini berlandaskan asas Waspodo Purbo Waseso, yang mengajarkan pentingnya kewaspadaan dan kebijaksanaan untuk mengendalikan kekuatan diri. Ini adalah pengingat bahwa peningkatan keterampilan datang bersamaan dengan peningkatan tanggung jawab.
Secara filosofis, tujuannya adalah menanamkan karakter untuk selalu melakukan sesuatu dengan tepat dan fleksibel. Hal ini diterjemahkan ke dalam penguasaan teknik yang jauh lebih maju untuk mengendalikan ruang pertarungan. Latihan berfokus pada kultivasi presisi, efisiensi gerak, dan adaptabilitas yang tinggi, meliputi:
- Manuver elakan dan teknik lompatan (loncat).
- Kuncian sendi dan serangan cepat.
- Gerakan pada level yang berbeda (serangan atas dan bawah).
- Teknik permainan bawah.
- Kombinasi tangan-kaki yang lebih rumit.
Penempatan Jurus 25 dalam blok ini memiliki makna penting. Jurus ini secara khusus digunakan pada permulaan sambung (latih tanding), berfungsi sebagai isyarat kesiapan dan penghormatan. Kehadirannya di sini menandakan bahwa siswa kini dianggap memiliki kontrol, presisi, dan pemahaman yang cukup untuk mulai menerapkan teknik mereka secara aman dan bertanggung jawab terhadap rekan berlatih.


Jurus 26-35 untuk Tingkat Putih (Sabuk Putih): Puncak Kesucian Batin dan Kewaspadaan
Warna putih melambangkan kesucian, ketulusan, dan kesiapan untuk menerima pencerahan spiritual. Pada tahap ini, siswa dianggap telah menguasai seluruh kurikulum fisik dan kini berfokus pada pemurnian jiwa (pemurnian jiwa). Karakter mereka dipoles pada tahap akhir dengan asas Gemi Nastiti (cermat dan hemat), Bloko (jujur), serta Legowo (ikhlas) sebelum diresmikan menjadi Warga.
Jurus 26 hingga 35 adalah rangkaian terakhir dan puncak dari semua pelatihan teknis. Gerakannya cepat, cair, halus, kompleks, dan sering kali menipu, mengandung prinsip strategi tingkat lanjut. Tujuan utamanya bukan lagi sekadar aplikasi fisik, melainkan untuk menanamkan kondisi kesadaran yang tenang dan konstan, atau kewaspadaan.
Pada puncaknya, rangkaian ini merepresentasikan harmoni antara tubuh, pikiran, dan jiwa. Praktisi tidak lagi hanya bereaksi terhadap ancaman eksternal, tetapi dilatih untuk secara proaktif menyadari seluruh lingkungannya, sebagai cerminan dari kesadaran batin yang matang.


Proses bertahap ini dapat dilihat sebagai sebuah proses alkimia spiritual. Siswa memulai perjalanannya sebagai "materi dasar" (hitam/ketidaktahuan), kemudian "dipanaskan" melalui tempaan latihan dan keraguan (merah muda), lalu "memadat" menjadi bentuk yang stabil (hijau/keseimbangan), dan akhirnya "dimurnikan" menjadi "emas" (putih/kesucian). Jurus-jurus yang dilatih secara fisik menjadi katalisator bagi transmutasi internal ini, mengubah individu mentah menjadi seorang Manusia Berbudi Luhur.
Puncak Perjalanan Jurus Kunci ke-36 dan Sakralitas Pengesahan
Sebagai bagian dari penghormatan terhadap etika dan tradisi luhur organisasi, perlu ditegaskan bahwa File pendamping dalam bentuk PDF yang menyertai tulisan ini hanya memuat Jurus Dasar PSHT 1 hingga 35, dengan peragaan visual kadhang warga PSHT. Jurus Dasar ke-36 tidak dicantumkan dan tidak akan diperagakan secara visual dalam bentuk apa pun.
Jurus ke-36 Kunci Penyempurna yang Sakral dan Rahasia
Jurus ke-36 memiliki status yang istimewa dan fundamental berbeda dari 35 jurus sebelumnya. Ia dikenal sebagai Jurus Kunci, sebuah teknik pamungkas yang bersifat sakral dan rahasia.
- Status dan Sifat: Jurus ini adalah penyempurna yang membuka potensi penuh dari 35 jurus yang telah dipelajari. Sifatnya dianggap sangat berbahaya dan berpotensi mematikan (mematikan), sehingga kerahasiaannya dijaga dengan sangat ketat untuk mencegah penyalahgunaan. Pewarisannya adalah sebuah tindakan kepercayaan tertinggi dari organisasi kepada anggotanya.
- Fungsi: Lebih dari sekadar teknik, Jurus Kunci adalah puncak filosofis dan praktis dari seluruh kurikulum dasar. Ia melambangkan transisi dari seorang yang baru bisa "mengeja" (Jurus 1-35) menjadi seorang yang mampu "menulis puisi" dengan ilmu yang dimilikinya.
Malam Pengesahan (Keceran) Menuai Persaudaraan
Jurus Kunci ke-36 hanya diwariskan pada momen yang paling sakral dalam perjalanan seorang siswa, yaitu pada Malam Pengesahan atau Keceran. Ini adalah sebuah upacara inisiasi yang mendalam, khidmat, dan penuh makna spiritual, yang secara tradisi dilaksanakan pada malam hari di bulan Suro (Muharrarn), bulan yang dianggap suci dalam kalender Jawa dan Islam.
Prosesi ini terdiri dari beberapa tahapan, termasuk slametan (doa bersama dan perjamuan), pengucapan sumpah atau janji setia, dan ritual inti pengeceran, di mana siswa secara resmi diterima sebagai Warga (anggota penuh) PSHT. Suasana ritual ini sangat khusyuk, sering kali hanya diterangi oleh cahaya lilin, diisi dengan doa dan wejangan untuk introspekse diri. Hanya setelah melalui seluruh prosesi suci ini, setelah siswa bersumpah dan resmi menjadi Warga Tingkat I, mereka akan dikumpulkan secara khusus untuk menerima warisan Jurus Kunci ke-36, yang diajarkan langsung oleh Dewan Pengesah (Warga Tingkat II atau Tingkat III).
Penyembunyian Jurus ke-36 hingga akhir bukanlah bentuk elitisme, melainkan sebuah mekanisme penyaringan moral yang sangat efektif. Seluruh proses latihan Jurus 1-35 selama bertahun-tahun berfungsi sebagai filter. Hanya mereka yang menunjukkan kesabaran, kerendahan hati, disiplin, dan integritas moral yang teruji yang akan sampai pada gerbang pengesahan. Dengan demikian, kerahasiaan Jurus Kunci adalah bagian fungsional dari sistem pendidikan PSHT, yang memastikan bahwa ilmunya yang paling kuat hanya dipercayakan kepada insan-insan yang telah membuktikan bahwa mereka tidak akan menyalahgunakannya. Ini adalah benteng terakhir untuk menjaga prinsip luhur Memayu Hayuning Bawono.
Simbolisme Kain Mori Ikrar Kesucian dan Persaudaraan Abadi
Setelah melewati prosesi pengesahan, setiap Warga baru akan menerima selembar kain mori putih. Kain sederhana ini bukanlah sekadar sabuk, melainkan sebuah simbol yang sarat dengan makna filosofis yang mendalam.
Mori sebagai Tanda Kelulusan dan Kesucian
Kain mori adalah simbol fisik kelulusan seorang siswa, sebuah "ijazah" atau tanda sah bahwa ia telah diterima sebagai bagian dari keluarga besar PSHT. Warna putihnya yang bersih melambangkan kesucian hati, ketulusan niat, dan kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu kualitas-kualitas yang wajib dimiliki oleh seorang Warga baru.
Pengingat Kematian (Memento Mori)
Secara tradisional, kain mori adalah kain yang digunakan untuk membungkus jenazah (kain kafan). Penggunaannya sebagai sabuk bagi seorang Warga PSHT memiliki makna ganda yang sangat mendalam: ia adalah sabuk untuk kehidupan sekaligus pengingat akan kematian. Simbolisme memento mori ini berfungsi sebagai pengingat konstan akan kefanaan hidup. Hal ini bertujuan untuk menanamkan kerendahan hati dan mendorong setiap Warga untuk mengisi hidupnya dengan perbuatan baik dan bermanfaat, karena pada hakikatnya, ia telah membawa kain kafannya sendiri setiap saat.
Ikatan Persaudaraan yang Kekal
Menerima kain mori berarti mengikatkan diri pada tali persaudaraan seumur hidup. Ia menjadi seragam batin yang menyatukan seluruh anggota, tanpa memandang latar belakang. Bahan katunnya yang sederhana juga menjadi simbol bahwa seorang Warga PSHT harus senantiasa hidup dalam kesederhanaan dan tidak sombong.
Filosofi Ukuran Sakdedeg Sakpengawe
Panjang kain mori secara tradisional diukur dengan standar sakdedeg sakpengawe, yang berarti "setinggi badan dan selebar rentangan kedua tangan" pemiliknya. Ukuran personal ini membawa pesan filosofis bahwa setiap cita-cita, keinginan, dan ambisi haruslah diukur sesuai dengan kemampuan diri sendiri. Ini adalah ajaran tentang mawas diri, realisme, dan pemahaman atas kapasitas pribadi.
Pemberian kain mori ini merupakan sebuah paradoks yang brilian dan menjadi alat untuk "penghancuran ego". Di satu sisi, ia adalah simbol pencapain tertinggi setelah bertahun-tahun berlatih. Di sisi lain, ia adalah simbol kerendahan hati yang paling ultim: pengingat kematian. Kebanggaan atas pencapaian seketika diredam oleh realitas kefanaan. Ini adalah mekanisme budaya yang tertanam kuat untuk mencegah timbulnya kesombongan yang sering kali menyertai penguasaan ilmu bela diri, dan secara langsung menegakkan nilai luhur PSHT tentang kerendahan hati.
Buku Jurus PSHT lengkap (PDF)
Untuk menunjang proses latihan dan pemahaman mendalam bagi seluruh warga SH Terate, berikut File PDF lengkap untuk Gambar Jurus Dasar PSHT 1-35.
Materi Jurus Dasar PSHT 1 Sampai 35 Potrait
Materi Jurus PSHT 1-35 Landscape
Jurus PSHT sebagai Jalan Hidup (Laku Urip)
Rangkaian Jurus Dasar 1 hingga 36 dalam Persaudaraan Setia Hati Terate pada hakikatnya adalah sebuah mikrokosmos dari perjalanan hidup itu sendiri. Ia bukanlah sekadar kumpulan teknik, melainkan sebuah jalan spiritual (laku) yang utuh, yang dimulai dari kegelapan pikiran (Sabuk Polos), melintasi tantangan untuk menanamkan keberanian, kecerdikan, dan kewaspadaan (Sabuk Jambon, Hijau, Putih), hingga mencapai puncaknya dalam kelahiran kembali yang sakral (Pengesahan), dan disimbolkan dengan kerendahan hati tertinggi (Kain Mori).
Penguasaan jurus bukanlah tujuan akhir, melainkan awal dari sebuah laku urip, yaitu sebuah jalan hidup yang didasari oleh nilai-nilai luhur. Tujuan puncaknya bukanlah untuk menjadi petarung yang tak terkalahkan, melainkan untuk melahirkan "Manusia Setia Hati": insan yang kuat secara fisik sekaligus luhur dalam budi pekerti, setia pada hati nuraninya, dan hidup berpegang teguh pada falsafah Urip Iku Urup (Hidup itu Menghidupi/Memberi Cahaya).
Pada akhirnya, esensi sejati dari 36 Jurus Dasar PSHT tidak ditemukan dalam kehebatan gerakannya di medan laga, tetapi terpancar dari karakter mulia sang praktisi dalam kehidupan sehari-hari. Penguasaan sejati tecermin dalam upaya untuk secara aktif berkontribusi pada keharmonisan dunia (Memayu Hayuning Bawono), yang dijalani dengan kehormatan, welas asih, dan kesetiaan yang tak tergoyahkan pada hati.
Post a Comment